Sidang Uji Formil UU TNI: Minim Partisipasi Publik dalam Pembuatannya

Dalam proses pembentukan undang-undang yang menyangkut aspek penting seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI), partisipasi publik menjadi salah satu faktor yang semakin diperhatikan. Baru-baru ini, sidang uji formil terhadap Undang-Undang TNI menuai perhatian karena kritik dari akademisi hukum, Bivitri Susanti, yang menyoroti minimnya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunannya. Artikel ini akan membahas secara detail latar belakang dan proses pembentukan UU TNI, peran serta kritik Bivitri, serta implikasi dari kurangnya keterlibatan publik dalam legislasi militer di Indonesia. Dengan analisis yang mendalam, diharapkan dapat memberikan gambaran komprehensif mengenai pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses legislasi yang berkaitan dengan keamanan nasional dan stabilitas hukum nasional.
Latar Belakang Sidang Uji Formil UU TNI dan Tujuan Penelitian
Sidang uji formil terhadap UU TNI dilakukan untuk memastikan bahwa proses pembentukan undang-undang tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, terutama UUD 1945 dan aturan tata pemerintahan yang berlaku. Uji formil ini biasanya dilakukan oleh lembaga legislatif atau badan pengawasan legislatif untuk menilai apakah prosedur legislasi telah dipatuhi, mulai dari tahapan penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah memastikan bahwa proses pembentukan UU TNI tidak menyimpang dari prinsip-prinsip demokratis dan keabsahan hukum. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan mengungkap adanya potensi ketidaktransparanan yang dapat memengaruhi legitimasi undang-undang tersebut. Dalam konteks ini, kritik terhadap minimnya partisipasi publik muncul sebagai bagian dari upaya menjaga kualitas legislasi dan kepercayaan masyarakat terhadap produk hukum yang dihasilkan.
Proses Pembentukan UU TNI dan Mekanisme Uji Formilnya
Proses pembentukan UU TNI dimulai dari tahap perencanaan dan penyusunan draf oleh pemerintah, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan di DPR bersama komisi terkait. Selama proses ini, partisipasi masyarakat secara langsung tidak selalu dilakukan secara signifikan, meskipun ada mekanisme konsultasi publik yang seharusnya diterapkan. Setelah melalui berbagai tahapan pembahasan, draf tersebut kemudian disahkan melalui sidang paripurna DPR menjadi undang-undang. Mekanisme uji formil dilakukan setelahnya, biasanya melalui prosedur formal seperti pengujian oleh Mahkamah Konstitusi atau badan pengawas legislatif untuk memastikan bahwa semua tahapan sesuai prosedur. Sayangnya, dalam banyak kasus, proses ini sering kali berlangsung tertutup dan minim keterlibatan masyarakat, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan legitimasi produk hukum tersebut. Mekanisme ini menjadi penting agar proses legislasi tidak hanya formal secara prosedural, tetapi juga memiliki legitimasi moral dan demokratis.
Peran Bivitri dalam Mengkritisi Partisipasi Publik dalam Penyusunan UU
Bivitri Susanti, seorang akademisi hukum dan pengamat kebijakan publik, secara konsisten mengkritisi proses legislasi yang minim partisipasi publik, termasuk dalam konteks UU TNI. Dalam berbagai tulisannya, Bivitri menegaskan bahwa partisipasi masyarakat adalah aspek fundamental dalam membangun kepercayaan dan legitimasi hukum. Ia menyoroti bahwa proses legislasi yang tertutup dan tidak melibatkan publik secara memadai berpotensi menciptakan produk hukum yang tidak mencerminkan kepentingan rakyat secara luas. Bivitri juga mengingatkan bahwa partisipasi publik tidak hanya sekadar formalitas, tetapi harus menjadi bagian integral dari proses legislasi agar produk undang-undang benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat dan kebutuhan nyata. Ia mendorong reformasi dalam mekanisme legislasi agar lebih inklusif dan transparan, serta menekankan pentingnya melibatkan berbagai lapisan masyarakat, termasuk kelompok sipil, akademisi, dan organisasi masyarakat dalam setiap tahapan legislasi.
Analisis Bivitri tentang Keterlibatan Publik dalam Pembentukan UU TNI
Dalam analisisnya, Bivitri menyatakan bahwa minimnya keterlibatan publik dalam proses pembentukan UU TNI merupakan indikator dari kurangnya prinsip demokrasi dalam legislasi tersebut. Ia menganggap bahwa undang-undang yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan nasional seharusnya melibatkan masyarakat secara lebih aktif, mengingat dampaknya yang luas terhadap hak asasi manusia dan kebebasan sipil. Menurut Bivitri, proses legislasi yang tertutup berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan publik dan memperbesar risiko penyalahgunaan kekuasaan. Ia menegaskan bahwa mekanisme konsultasi dan partisipasi harus diperkuat, termasuk melalui forum diskusi publik, konsultasi online, dan dialog terbuka dengan berbagai pihak terkait. Dengan demikian, ia berharap bahwa proses legislasi dapat berjalan lebih transparan, akuntabel, dan mampu menghasilkan undang-undang yang benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat dan keberlanjutan demokrasi di Indonesia.
Dampak Minimnya Partisipasi Publik terhadap Legitimasi UU TNI
Kurangnya partisipasi publik dalam pembentukan UU TNI memiliki dampak signifikan terhadap legitimasi undang-undang tersebut. Legitimasi hukum tidak hanya bergantung pada aspek prosedural formal, tetapi juga pada penerimaan dan kepercayaan masyarakat terhadap produk hukum yang dihasilkan. Ketika proses legislasi berlangsung tanpa keterlibatan masyarakat yang cukup, muncul kekhawatiran bahwa undang-undang tersebut hanya representasi dari kepentingan segelintir kelompok tertentu. Hal ini dapat menimbulkan resistensi sosial, ketidakpatuhan, dan bahkan konflik di kemudian hari. Selain itu, minimnya partisipasi juga berpotensi mengurangi akuntabilitas pembuat kebijakan dan memicu ketidakpercayaan terhadap institusi legislatif dan eksekutif. Dalam konteks UU TNI, kepercayaan masyarakat sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan pertahanan dan keamanan nasional diterima secara luas dan dilaksanakan secara efektif. Oleh karena itu, partisipasi publik menjadi kunci utama dalam memperkuat legitimasi dan keberlanjutan undang-undang tersebut.
Perspektif Hukum mengenai Partisipasi Masyarakat dalam Proses Legislasi
Secara hukum, partisipasi masyarakat dalam proses legislasi diatur dalam berbagai regulasi nasional, termasuk Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. Pasal-pasal ini menegaskan bahwa masyarakat memiliki hak untuk turut serta dalam proses pembuatan undang-undang melalui mekanisme konsultasi, audiensi, dan partisipasi aktif lainnya. Pengaturan ini bertujuan untuk memastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan tidak hanya memenuhi aspek formal, tetapi juga mencerminkan aspirasi rakyat dan memenuhi keadilan substantif. Dalam konteks UU TNI, aspek ini menjadi penting karena menyangkut hak-hak warga negara dan keberlanjutan demokrasi. Hukum di Indonesia secara tegas mendorong keterlibatan masyarakat sebagai bagian dari prinsip transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Meski demikian, implementasinya masih sering terbatas, dan banyak proses legislasi yang berjalan secara tertutup, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas pengaturan tersebut.
Reaksi Akademisi dan Praktisi Hukum terhadap Kritik Bivitri
Kritik Bivitri Susanti tentang minimnya partisipasi publik dalam pembentukan UU TNI mendapatkan beragam tanggapan dari akademisi dan praktisi hukum. Banyak yang sepakat bahwa proses legislasi harus lebih terbuka dan inklusif, mengingat pentingnya legitimasi sosial dalam pembentukan produk hukum. Beberapa akademisi menilai bahwa kritik ini mendorong perlunya reformasi sistem legislasi agar lebih transparan dan melibatkan masyarakat secara aktif. Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa dalam konteks keamanan nasional, ada pertimbangan tertentu yang menyebabkan keterlibatan publik terbatas demi menjaga kerahasiaan dan efektivitas proses legislasi. Praktisi hukum menekankan bahwa reformasi prosedural dan peningkatan mekanisme konsultasi harus dilakukan untuk memastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Secara umum, kritik Bivitri memicu diskusi yang konstruktif tentang pentingnya integritas dan transparansi dalam proses legislasi, serta perlunya penyesuaian mekanisme agar sesuai dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Perbandingan Proses Pembentukan UU TNI dengan Regulasi Serupa di Indonesia
Jika dibandingkan dengan proses pembentukan undang-undang lain di Indonesia, proses legislasi UU TNI menunjukkan beberapa kekurangan terkait partisipasi publik. Banyak undang-undang yang melibatkan konsultasi dan dialog dengan masyarakat secara lebih aktif, terutama dalam konteks undang-undang yang bersifat sosial dan ekonomi. Sebaliknya, legislasi yang berkaitan dengan keamanan dan pertahanan sering kali lebih tertutup dan terpusat pada proses internal legislatif. Perbandingan ini menunjukkan bahwa ada ketimpangan dalam penerapan mekanisme partisipasi, yang perlu diperbaiki agar semua undang-undang, termasuk UU TNI, dapat memenuhi prinsip demokrasi substantif. Selain itu, beberapa negara di ASEAN dan negara-negara lain juga mengadopsi proses legislasi yang lebih inklusif dan transparan, sebagai bagian dari upaya memperkuat legitimasi hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Indonesia perlu belajar dari praktik terbaik ini untuk meningkatkan kualitas proses legislasi nasional.
Upaya Meningkatkan Partisipasi Publik dalam Pembentukan Kebijakan Militer
Untuk meningkatkan partisipasi publik dalam proses legisl