Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) merupakan proses penting dalam membentuk regulasi yang akan mengatur sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun, dalam praktiknya, proses ini seringkali terkesan hanya sebagai bentuk partisipasi formalitas tanpa adanya pengaruh substantif terhadap isi dan arah kebijakan yang dihasilkan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana partisipasi berbagai pihak benar-benar memberikan dampak nyata dalam proses legislasi tersebut. Artikel ini akan mengulas mengenai analisis partisipasi formal dalam pembahasan RUU KUHAP serta dampak dari keterbatasan partisipasi tersebut dalam proses legislasi.
Analisis Partisipasi Formal dalam Pembahasan RUU KUHAP
Partisipasi formal dalam pembahasan RUU KUHAP biasanya terjadi melalui mekanisme yang telah diatur secara administratif, seperti rapat dengar pendapat, konsultasi publik, dan forum diskusi resmi. Namun, kenyataannya, partisipasi ini seringkali bersifat simbolis dan tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap isi akhir dari undang-undang yang disusun. Banyak pihak yang terlibat hanya sebagai formalitas tanpa adanya ruang yang cukup untuk menyampaikan aspirasi secara mendalam atau melakukan penyesuaian terhadap materi yang diajukan. Hal ini disebabkan oleh proses yang cenderung tertutup, kurangnya transparansi, dan dominasi kepentingan tertentu yang lebih kuat dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, partisipasi yang berlangsung hanyalah sebagai formalitas yang tidak mampu mencerminkan aspirasi masyarakat maupun para pemangku kepentingan secara substantif.
Dampak Keterbatasan Partisipasi dalam Proses Legislasi RUU KUHAP
Keterbatasan partisipasi dalam proses legislasi RUU KUHAP memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap kualitas dan legitimasi dari undang-undang yang dihasilkan. Ketika partisipasi hanya bersifat formal dan tidak melibatkan berbagai pihak secara mendalam, maka potensi untuk memperoleh masukan yang beragam dan konstruktif menjadi terbatas. Akibatnya, isi dari RUU KUHAP berisiko tidak mencerminkan kebutuhan riil masyarakat dan tidak mampu menyelesaikan permasalahan nyata di lapangan. Selain itu, minimnya partisipasi juga dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses legislasi dan hasil akhirnya, karena dianggap tidak transparan dan tidak inklusif. Dampaknya, implementasi undang-undang pun berpotensi mengalami hambatan karena kurangnya dukungan dan pemahaman dari berbagai pihak yang seharusnya turut serta dalam proses pembuatan kebijakan tersebut.
Secara keseluruhan, partisipasi formal dalam pembahasan RUU KUHAP menunjukkan adanya kekurangan dalam aspek keikutsertaan yang substantif dan bermakna. Untuk meningkatkan kualitas legislasi dan memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kepentingan masyarakat, diperlukan reformasi dalam mekanisme partisipasi yang lebih terbuka, transparan, dan inklusif. Dengan demikian, proses legislasi tidak hanya sekadar formalitas, tetapi benar-benar mampu menghasilkan regulasi yang adil, efektif, dan berdaya guna bagi seluruh lapisan masyarakat.










